2/06/2018

Pantai Wohkudu Trip


Cerita kali ini adalah cerita tentang pengalaman yang kukategorikan ke dalam “my best trip ever”. Sebuah trip yang sungguh aku hanyut dalam keseruan di dalamnya. Trip dengan 14 anak yang bahkan 4 anak di antaranya belum aku kenal barang seberkas namanya pun.

Ini berawal dari sebuah ajakan di sebuah grup yang saat itu bernama “EG Joglosemar” (sekumpulan anak eisthera—teman masa SMA-ku, yang di tahun ini berdomisili di daerah Jogja-Solo-Semarang). Ajakannya singkat, hanya mengenai siapa yang ingin ikut trip bareng anak Jogja tanggal 30-31 Januari ini? Sekedar kasih tau aja, anak Jogja yang dimaksud di sini adalah anak alumni Insan Cendekia Serpong-Gorontalo-Jambi (yang selanjutnya akan lebih sering disebut dengan “Eisthera-Elkhazzanta-Atomic”) yang lulus pada tahun 2016. Dan tentunya berdomisili di Jogja Istimewa.

Bagi seorang aku yang tengah tanpa kerjaan di tanggal itu, ditambah keadaan rumah yang terbilang tak jauh, of course dong, aku mengiyakan ajakan ini. Detik setelah membaca ajakan itu, aku langsung mengiyakan. Izin ortu? Ah, itu nanti. Langsung juga setelah itu, akunku diundang masuk ke dalam grup yang kala itu namanya “IC Jogja”, kalau grup satu ini isinya yaa yang tadi sempat aku sebut dengan ‘anak Jogja’.
 
Ah ya, sekedar ngasih tahu lagi aja nih. Anak-anak Jogja ini memang kebanyakan terkenal dengan sifat “anti-wacana”nya, yang artinya adalah ketika ada ajakan, secara langsung mereka realisasikan walau itu hanya ada segelintir anak dari sekian penghuni grup. Kadang, di sini lah aku merasa sedih. Sedih, kenapa? Karena tolakan UGM di tahun 2016 yang membuatku tak bisa merasakan keterangan domisili ‘Yogyakarta’ sekaligus tak merasakan sifat anti wacana yang kan mengantarkan pada berbagai destinasi wisata.

Yailah, jadi sedih gini. Stop it, please!

Paragraf ini dan lanjutnya adalah cerita di tanggal 30 Januari 2018. Berawal dari pagi hari, di mana aku masih menjejakkan kaki di Kabupaten Temanggung dan akan menuju ke Kota Solo, padahal trip ini berniatan akan berangkat di jam 14.00 dari daerah UGM. Kenapa ke Solo dulu? Tentunya karena ada urusan dulu dengan dunia Solo. Kalau nggak ada urusan, ya sudah dapat dipastikan aku langsung caw ke Jogja.

Urusanku di Solo selesai di jam 11.30 WIB. Setelah perjalanan Temanggung-Solo yang kutempuh dengan kurang lebih 2 jam 15 menit bersepeda motor plus hadiah dari Allah berupa hujan dan menyelesaikan urusanku itu, sungguh pasti, aku butuh rehat sejenak. Meluruskan kaki dan merebahkan diri barang sejenak di kasur kamar. Baru saja aku terduduk di kasur, terdengar bunyi bunyi hujan. Bahkan tak segan, bukan rintik yang aku dengar, namun langsung suara hujan yang deras. Dalam bayanganku detik itu juga adalah “Allah nggak ngizinin aku ikutan apa ya?”.

Mungkin ada dalam beberapa orang di antara kalian yang berkata “Yaelah, hujan doang. Kan ada teknologi mobil-kereta yang bisa ngangkut tubuh ke Jogja”. Oke, pertanyaan ini akan ku jawab dengan memberitahukan bahwa aku di-lebih baik-kan membawa motor, kalau-kalau motor tidak mencukupi. 
Mungkin, kalian ada yang menanggapi lagi, “Kan ada teknologi namanya mantol?”. Kali ini dengan sedikit bentakan kali ya, aku bakal jawab, “Helloooo! Mantol nggak selamanya bisa menutupi kamu dari hujan. Apalagi ini perjalanan Solo-Jogja yang pas jalan di daerah Klaten itu banyak truk atau kendaraan gede melintas bareng. Dan satu lagi, aku seorang perempuan Mas, Mbak. Bukannya aku minta dikasihani, tapi aku ngga yakin tubuhku kuat buat nerjang hujan itu setelah tadi capek-capekan,”.

Kontan saja, aku mengambil hape dan menghapus namaku dari daftar rombongan perjalanan. (Kalau dipikir-pikir lagi, aku gegabah ya? :’).

“Ah, udah lah yaa. Kalau emang ngga ditakdirkan buat ikut, ya nggak apa-apa. Harus legowo,”.

Respon dari teman-teman lainnya setelah aku menghapus nama, aku bisa merangkumnya seperti ini

“Yaah, Lu nggak jadi ikut?”

“Nggak usah bawa motor juga, nggak pa-pa kok,”

“Iya, palingan ntar ada yang gentle buat ngeboncengin,”

“Udeh, lu berangkat aja. Ntar ikutan yang kloter malem juga nggak papa kali,”

Rada ngakak sebenernya, baca yang ketiga kutulis itu. Tapi, jujur saja. Waktu itu aku sudah memutuskan untuk tidak ikut di ajang trip kali ini. Kataku waktu itu, “Ah biarlah. Kapan-kapan lagi ikutan trip lainnya,”.

Ah udahlah ya, kebanyakan prolog nih. Intinya, aku jadi ikut. Aku jadi berangkat ke Jogja, motoran, dan Alhamdulillah tidak diguyuri hujan.

Perjalanan dimulai..

Sekitar jam 5 sore lebih—hampir setengah enam bahkan, kita berangkat bersepuluh orang tentu dengan 5 motor. Isinya ada lima cowok dan lima cewek dengan keadaannya hanya dua orang (kalau nggak salah) yang pernah ke tempat destinasi itu. Jadilah ‘google maps’ sebagai penolong kita kala itu.

Perjalanan menuju destinasinya bisa dibilang cukup jauh karena waktu yang kita makan pun cukup terbilang lama. Berangkat sekitar jam setengah 6 dan sampai kira-kira jam 9 malem kali lah (aku lupa ini). Ya memang di dalamnya terdapat beberapa persinggahan. Yaitu salah satunya adalah masjid di pinggir jalan untuk menunaikan shalat maghrib. Persinggahan lainnya yaitu adalah bengkel. Yashh, ada motor yang bannya bocor. Dan siapakah pemilik motor itu? Aku. Haha, nyusahin emang. Alhamdulillahnya bisa teratasi. Eit, tapi beruntunglah kalian karena dengan mampir ke bengkel ini, perut kalian sempat terisi makanan alias martabak hasil pembelian beberapa anak.

Oke, langsung aja lah. Ceritanya, kita sudah sampai pada destinasi kita, sebut saja ia Pantai Wohkudu. Sebuah pantai yang diapit oleh dua tebing, dan sungguh terasa ‘private beach’ gitu. Tapi dan tapi, untuk menggapai pasir serta air pantainya itu, kita harus melewati turunan yang sungguh penuh perjuangan. Bayangpun, kita sampai di sana (di atas) jam 9-an, sudah malam kan itu? Sudah petang kan itu? Sudah. Adakah penerangan di sana? Oh My.. itu pelosok, jauh dari pedesaan bahkan. Sebuah lampu pun tak tertemukan.

Maka, dengan berbekal beberapa buah senter, kita berusaha untuk melalui rintangan pertama itu (cailah, rintangan. Alay bet). Bawaan kita banyak, keadaan super gelap, kondisinya seperti hutan, dan pijakannya tanah becek serta batu-batu yang licin akibat hujan sebelumnya. Jalanannya beberapa terasa terjal euy! Oh ya, motor ditaruh di atas. Ada semacam tempat parkir di sana. Karena tak mungkin dibawa ke bawah. Berat. Kau takkan kuat. Aku juga tak kuat soalnya. *Efek jamannya Dilan.

Karena medan jalannya yang seperti itu, tak jarang suara gedebuk plus teriakan membersamai perjalanan turun. Ada juga berkali-kali ucapan seperti ini, “Ihh, licin banget, tiati yaaa”. Atau ini “Woy senter, Woy! Kagak keliatan ini jalan!”. Sesekali juga ada yang seperti ini, “Eh, gantian bawain dong. Berat ini. Gua bawa yang itu aja,”.

Bahkan, ada yang berucap seperti ini, “Ih, gue salah kostum kan! Mana ini pake rok, pake flat shoes, pake sandal jepit. Tau gini, pake sandal gunung ya,”.

Perlu kalian ketahui, perjalanan turun ini bahkan menghasilkan keringat juga, loh. Padahal jalannya turun, udah gitu malam, hawa dingin. Ya diambil baiknya aja deh, jadi olahraga.

Thenn… Sampailah kita di bawah, tepat di pasir-pasir pantai. Tanpa basa-basi lagi, kita meletakkan barang-barang di bawah atap saung yang ada. Langsung setelahnya, para lelaki (ciah) mencari tempat untuk mendirikan tenda yang sudah dibawa. Sementara itu, kita para perempuan menyiapkan makan (asoy).

Sebelum berangkat, kita sudah membeli nasi bungkus dan telur balado. Tapi, telur yang kita beli sepertinya tidak mencukupi untuk kebutuhan semua orang, maka dari itu, kita para perempuan memasak. Yuhuu! Sungguh sederhana, menu masakaan kita kali ini hanya tempe dan nugget. Suatu kebodohan adalah ketika kita udah beli dan bawa tempe, tapi kita tidak membawa pisau sebagai pemotongnya. Tolong ini, kepada siapa kita harus menyalahkan? Mau sebut nama kok ya kasihan, dari kemarin disalahin mulu. Intinya kita nggak bawa pisau. Akhirnya kita berniatan untuk memotongnya dengan pencapit makanan (Tau kan maksudku? Tau lah ya). Kita takkan memedulikan kerapihan pada malam itu. Yang penting tempe bermanfaat dan perut terisi makanan.

Ketika tempe sudah akan dipotong, tiba-tiba ada otak yang bersinar. Pemilik otaknya berseru, “Eh, motongnya pake member card gue yang nggak kepake aja. Bisa rapi kan?”. Langsung saja dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan salah satu kartu membernya. Kurang keren apa coba cara memasak kita? Makasih kepada Sodari Caka yang telah mengusulkan itu.

Ini foto pas masak, gelap banget kan :'
Jadilah pada malam itu, kita makan dengan hal-hal berikut : Nasi bungkus yang kalau anak cewek makannya 3 bungkus buat berlima, dan kalau yang cowok satu bungkus buat satu orang dan mereka minta lebih. Perut lelaki memang top! Lauk pertama yaitu telur balado di mana pembagiannya adalah satu telur untuk dibagi paling tidak dua orang. Nugget dimakan satu orang satu buah. Dan tempe juga begitu.

Oh ya, buat kalian yang menyadari lantas bertanya begini “Katanya 15 orang? Kok jadi 10 orang yang berangkat?”. Biar kujawab. Pemberangkatan ini dibagi menjadi 2 kloter. Hal ini dikarenakan ada beberapa anak yang masih punya kesibukan seperti misal latihan nari, atau ngajar les. Maka dari itu, orang-orang yang sibuk ini nyusul ceritanya.

Permasalahan di sini adalah tidak ada sinyal sama sekali. Nol besar. Jadi, kita yang sudah di sini susah untuk menghubungi kloter yang kedua. Alhasil setelah berembug sebentar, diputuskan akan ada beberapa anak yang naik ke atas lagi untuk mencari yang namanya sinyal agar bisa menghubungi mereka. Diputuskan secara singkat juga, ada 3 anak yang akan naik ke atas, dan mereka cowok semua. Gentle emang cowo-cowo ini. (Nggak usah terbang lu yang gue puji, karena sebenernya ini emang kewajiban lu, wkwk).

Sebenarnya dan sebenarnya, aku juga pengen ikutan naik ke atas. Suer! Daripada gabut di bawah, mending ikutan naik lagi bagiku. Biarin aja terjal licin, yang penting jalan dan no gabut-gabut time! Akhirnya kuutarakan, tapi dengan suaraku yang pelan. Eh, ternyata Kholif denger dan dia juga pengen. Alhamdulillah dapet temen seper-pengen-an.

Tapi, aku mikir lagi. Kalau aku ikutan ke atas, aku hanya akan merepotkan lelaki-lelaki ini. Mana sandal yang kupakai tidak mendukung untuk melewati bebatuan itu lagi. Akhirnya, dengan sedikit berat hati aku menanggalkan keinginanku yang satu ini.

Setelah makan, kemudian shalat isya berjamaah di antara tenda-tenda yang sudah dibangun. Sungguh, enak rasanya, sholat di tengah heningnya malam ditambah sepoi angin pantai yang menyejukkan. MasyaaAllah..

Selesai sholat, ketiga lelaki tadi bergegas ke atas. Mencoba mencari sinyal demi menghubungi rombongan kedua. Sedangkan kita, 7 orang tersisa tidak mempunyai suatu kegiatan apa pun mengingat mainan yang disiapkan (kartu) dibawa oleh anak di rombongan kedua. Bermenit-menit dilalui hanya dengan saling cerita dan lebih banyak diam. Hingga akhirnya ada sebuah permainan di hp yang bisa mengisi kekosongan. Terimakasih Ludo King, karenamu malam itu aku tak gabut.

Jam sudah menunjukkan angka yang sangat malam, katakan saja jam 24.00 lebih. Tapi, rombongan yang dinanti tak kunjung datang. Jujur, aku pribadi merasakan khawatir. Entah kalian anggap aku berlebihan atau tidak, tapi memang itu yang terasa. Tapi, bersisian dengan rasa khawatir ini, ada satu rasa lagi yang mengatakan “mereka pasti bakal sampai dan baik-baik saja’. Jadi, kekhawatiran itu seakan hilang. Hingga akhirnya nyala lampu senter di kejauhan mengikat pandanganku. Alhamdulillaah, mereka sampai. Waktu itu sekitar pukul setengah 2 dini hari.

Mereka sampai, kemudian mereka makan. Dilanjut dengan main kartu. Dodol banget emang, udah tau jam mulai pagi dan keadaan masih gelap, tapi masih aja bisa nyempetin maen. Sayang aja kali yaa, udah sampai di destinasi tapi nggak menikmati waktu bersama. Cailah!

Sampai berapa kali putaran, akhirnya ada yang mengingatkan untuk tidur. Ciye banget kan diingetin tidur. Efek single nih. Dan karena takut besok nggak bangun pagi, akhirnya tidur.

Apakah tidur kita pulas di dalam suasana yang sedikit mencekam itu? Kebanyakan sih iya sepertinya, hal ini terbukti dengan bangunnya kita yang siangan. Jam 5.15an baru bangun. Parah. Padahal aku sendiri jam setengah 4-an udah bangun 2 kali akibat alarm hp orang. Tapi, nggak tahu kenapa melihat belum ada yang bangun, aku memutuskan untuk meringkuk lagi hingga bangun jam 05.15an tadi.



Keceriaan pagi ini dimulai dengan bangun dan dilanjutkan dengan berwudhu di laut, karena kamar mandi umum di sana belum dibuka. Berlanjut dengan sholat subuh berjamaah tentunya. Selesainya ini, apa yang kita lakukan? Yes, masak! Menu apa kita di pagi itu?

Menu kita pagi itu adalah mie goreng instan dan sosis goreng. Proses memasaknya bisa dibilang cukup lama, karena nesting (tempat masak) yang kita bawa hanya satu dan mie yang akan dimasak adalah sejumlah 15 bungkus. Yang cewek dengan sabarnya memasak mie-mie itu dan yang cowok entah ke mana, ada yang beberapa di antaranya setia menunggui yang cewek masak sambil ngobrol bareng dan ndengerin music plus sok-sok nyanyi dikit, ada juga yang ngomel karena masaknya lama.

Setelah sekian lama memasak mie yang pada akhirnya ada 3 bungkus mie tidak matang sempurna akibat gas kompornya habis, kita makan bersama di tengah hamparan pasir pagi itu. Kita duduk berjajar bersama menghadap mie yang sudah terhampar. Setelah membaca doa, langsunglah tanpa ampun kita habisi mie yang kataku sih super banyak. Sumpah, aku hanya makan 4-5 suapan saja udah kenyang. Entah kenyang atau enek karena liat porsi mie yang banyak banget. Aku menyerah! Berbeda dengan para lelaki yang masih terlihat kelaparan (?).



Perut terisi, saatnya kita bermain! Mulailah kita menyebar sendiri-sendiri mencari kesibukan yang berbeda-beda. Kalau aku? Yaa tentu sudah pada tahu lah apa yang aku lakukan. Bener kata Hammad, mencari inspirasi di alam yang sungguh bebas ini adalah hal yang mengasyikkan. Yaa, walaupun bagiku ada beberapa ‘gangguan’, sih.

Acara bermain ini diakhiri dengan main pasir bareng, dengan kerelaan seorang Hafizhudin untuk dikubur dengan pasir pantai. Dan, tentu tak lupa adalah foto bareng. Masa udah sampai jauh-jauh nggak ada yang buat dikenang secara gamblang?






Setelah sekiranya matahari cukup membuat panas, kita mulai berangsur menghentikan aktivitas pantai dan beranjak untuk berkemas. Secara bergantian, kita membersihkan badan. Dan setelah semua selesai, mulailah kita menapakkan langkah untuk pulang. Oh ya, masih ingat juga tentang percakapan-percakapan menjelang pulang itu. Percakapan seputar make up karena para cowok-cowok yang kepo dengan hal semacam itu, jadilah 10 menit di situ menjadi semacam kelas kecantikan.

Berlanjut ke cerita perjalanan pulang. Sebelumnya nih, membayangkan kemarin turun itu membuat malas untuk naik. Gimana nggak? Sudah dapat dipastikan sampai atas sana nanti akan sangat capek. Menaiki bebatuan yang seperti itu lah, sulit dijelaskan. Dalam perjalanan ke atas, aku hanya diam saja. Karena pikirku, semakin banyak aku ngomel maka akan semakin banyak keringat yang dikeluarkan. Jadi, aku hanya diam menikmati perjuangan untuk naik ke atas sana. Akibat jarang olahraga nih, jadi naik gini aja udah capek. Eh ya, satu hal yang aku bingungkan, dalam perjalanan naik yang di mana aku hanya terdiam ini, anak-anak di belakang sangat asyik bernyanyi sambil sedikit terengah-engah. Batinku, “masih bisa ya mereka nyanyi-nyanyi dalam keadaan naik gini?”.

Tanpa menggubrisnya, akhirnya kita sampai di atas. Lanjut beristirahat sebentar, dan kembali ke atas motor untuk pulang. Selamat tinggal, Wohkudu!

Perjalanan pulang cenderung biasa-biasa saja. Hanya sekali kita berhenti karena salah satu motor yang bannya sedikit kempes (kali ini bukan punyaku, kok). Tapi, dengan berhentinya ini kita mendapatkan pemandangan yang sungguh super elok! Udara di sana juga sungguh sejuk, bikin seger-seger ngantuk gitu. Dan rasanya enggan untuk beranjak lagi.


 
Akhirnyaa, perjalanan kita selesai. Sekitar pukul 12-an sudah sampai di UGM, dan dilanjutkan dengan makan bareng. Alhamdulillah cuaca saat pulang ini sangat baik bahkan cenderung panas bila dibandingkan dengan perjalanan ketika berangkat yang sempat diberi hujan.

Terimakasih banyak untuk semua dari kalian yang sudah memberi warna dalam perjalanan kemarin. Sungguh banyak yang masih membekas di pikiran. Sekali lagi pesanku : “Jangan bosen dan kapok buat ngajakin main seorang Najwa! Karena dijamin, perjalanan bakal seru dengan adanya dia, wehehe,”.

Oke, berikut adalah review-ku tentang gerombolan yang ikut meramaikan Wohkudu di tanggal 30-31 Januari 2018 :
  • Chaka—Perempuan tangguh yang belanja bahan masak super hemat! Kece emang! Dia juga yang merelakan member card nya buat jadi pengganti pisau untuk motong tempe.
  • Diyah—Perempuan penolongku dalam masalah penampungan di malam setelah trip, karena aku ga berani buat motoran balik solo dengan keadaan yang capek. Oh ya, motor dia baru. Eh, hehe. Dia mah tergolong cewe yang kalem di perjalanan ini, jangan bandingkan dengan aku.
  • Kholif—Perempuan teralim yang main di pantai tetap dengan gamisnya. Perempuan yang di malam itu udah ngantuk banget tapi tetap dipaksa main sama yang lain.
  • Elsya aka Acong—Cewek UNDIP yang jadi artis di perjalanan, karena banyak yang baru kenal dia di trip Jogja kali ini. Ah ya, dia juga yang mengatakan bahwa yang ada di “video belimbing” itu adalah skill yang hebat. Kece emang lu, Cong!
  • Tatam—Anak Elkhazzanta yang sudah aku kenal sejak kapan, yang kalau ngebonceng, aku merasa kasihan dengan yang di depannya. Karena, kalau ngebut, bakal kena tabok di kepala.
  • Safir—Perempuan Elkhazzanta yang baru aku kenal di Trip kali ini, yang bahasa Gorontalonya masih kental banget dan suaranya bagiku khas banget, cewek banget. Aku yakin, cewe satu ini anaknya berpembawaan ceria.
  • Fachri aka Jay—Cowo ndut yang ternyata suka ngusilin mbak-mbak yang lagi motoran sendirian di lampu merah. Yang suka nyanyi-nyanyi nggak tahu diri di jalanan sepi. 
  • Piju—Cowo pecinta tari yang nyusul di rombongan kedua karena kesibukannya di komunitas Rampoe UGM. Cowo yang sangat sering kena tampol ya, Ju? Doi juga yang merelakan tubuhnya terkubur pasir dan diisengi dengan ukiran nama di atas gundukan pasirnya, bertuliskan “Tami”. Oh ya, dia juga yang lupa buat bawa pisau (akhirnya buka kedok).
  • Febri—Bapak yang satu ini juga ikut di rombongan kedua, dengan keadaan sendirian di atas motornya dikarenakan jumlah kita yang ganjil. Oh ya, Bapak yang ini juga yang memancing percakapan about make up.
  • Hammad—Orang yang udah kukenal sebelum ini. Laki-laki tergaje di perjalanan, yang tiap menitnya ga berhenti nge-dramain film yang lagi boom yaitu Dilan. Yang tiap jamnya ngingetin kita tentang nalurimengaksara.blogspot.co.id. Makasih banget, loh, Mad.
  • Yudi—Sebelumnya udah kenal si sama anak atu ini, tapi belum kenal banget, akhirnya dipertemukan lagi di sini. Cowok yang datang di rombongan kedua. Dan ternyata dalam hal ‘makan’ dia adalah pemamah yang baik. 
  • Anshori—Cowo yang paling siap dan lengkap peralatannya, maklum lah yaa Anak Gunung sepertinya. Aku juga baru kenal anak ini walaupun sudah tau sebelumnya lewat sosmed.
  • Upik—Cowo yang baru aku kenal juga. Pertama liat kesannya sombong banget, dateng-dateng ngomongin matkul sama Kholif. Dan kenyataannya hampir seperti itu, cowo yang ngomonggg muluk dan suka nggodain Jay! Tiati ya kalau ketemu makhluk atu ini.
  • Ismail—Lelaki Elkhazzanta yang juga baru banget aku kenal. Cowok putih bermata sipit ini kirain rame gitu ngeliat seringnya doi muncul di grup, tapi ternyataaaa di aslinya, dieem poooll. Panutan bagiku emang (Karena aku susah diem)!
Ah ya, tentu dalam perjalanan ini ada semacam kalimat yang sering dielukan.
Semoga kalimat ini masih sering diingat sampai nanti yaa, "Dia butuh 'kehangatan' dan 'kebahagiaan'."
Sebenernya mau nulis yang asli sesuai ejaan kita, gengs. tapi kasian sama yang terkena dampak!

Oke deh, sekian aja.
Sumpah, isi blog kali ini panjang banget, maaf. Semoga dibaca sampe tuntas!
Salam dari aku, yang sedang mencoba bahagia selalu.

1 komentar:

  1. Sumpah Febri masih dipanggil Bapak wkwkw. Btw gue iri sama 2 hal di sini: dibolehin motoran jarak jauh dan bisa ngetrip bareng temen hahaha :( sad

    BalasHapus

Silakan ditulis komentarnya. semoga manfaat :)

Subscribe

Flickr