Tulisanku
kali ini akan bercerita tentang rasanya KKN selama 45 hari di Desa Pelosok
Banyuwangi, Jawa Timur. Eh, udah pada tahu kan ya, apa itu KKN? Salah satu
kewajiban atau syarat kelulusan bagi mahasiswa/i di beberapa universitas
tertentu. Embel-embel yang paling melekat sih “Pengabdian Masyarakat”. Tapi
emang bener, selama KKN itu aku sama temen-temen selalu mikir bagaimana caranya
kita hidup di desa ini bener-bener bermanfaat buat desa dan masyarakatnya.
Pikiran ini semakin menguat ketika kita udah sampai di lokasi, bersosialisasi
sama masyarakat, sampai kita sendiri mendengar bahwa ada harapan besar yang
ditaruh warga pada anak KKN selama tinggal di sana. Suer, deh! Rasanya kalau
semisal kita nggak bermanfaat tu malu banget!
Nah,
first of all, kenapa aku memilih
Banyuwangi—yang notabenenya merupakan wilayah dengan segudang cerita horror,
seperti KKN Desa Penari? 1) Awalnya pengen luar jawa, sekalian itung-itung
jalan-jalan. Tapi, orangtua nggak bolehin. Jadilah aku nyari kota/kabupaten di
Jawa yang belum pernah aku jabanin. Jawa Timur menjadi keinginan terkuat,
karena aku belum pernah eksplorasi sana. 2) Daftar di Malang sama Banyuwangi,
keterimanya di Banyuwangi. Yaudah, berarti emang nasib di sana kan? Hehe.
Oke,
kita mulai dengan persiapan KKN! Tim KKN-ku terbentuk sekitar 3 bulan sebelum
agenda ini dimulai. Awal pertama meet the
team, perasaan aku excited banget, karea syukur
hamdalah, timku asyik-asyik anaknya. Seiring berjalannya waktu, dari yang
awalnya excited perlahan memudar jadi
nggak ada semangat-semangatnya.
Apalagi aku menilai timku lama-lama terlalu banyak santai dan program kerja
serasa tidak tertangani. Semakin malas lah aku buat jalanin KKN. Puncak
kemalasan terjadi di dalam seminggu sebelum keberangkatan (Januari awal).
Rasanya kaya “ih, gue betah nggak ya, di sana?”, “Aduh, kalau ada masalah sama
anak KKN gimana?”, “Aduh nanti semua proker beres nggak ya? Berkendala sama
masyarakat nggak ya? Mampus aja nyampe ada konflik,”. Dan berpuluh-puluh
kekhawatiran lainnya yang menjadikan aku semakin malas untuk berangkat.
Tapi,
mau nggak mau kudu berangkat, kan? Yap, akhirnya berangkat juga di pertengahan
Januari.
Stasiun Purwosari - Keberangkatan |
Sampailah di Banyuwangi, tepatnya di Desa Kandangan—tempat aku tinggal. Rasa yang pertama muncul adalah masih khawatir hidup di sana. Kenapa? Tentu karena bayangan akan kehidupan sehari-hari. Salah satu kekhawatiran adalah dikarenakan kebetulan aku dapat rumah yang memiliki kamar mandi di luar rumah plus harus nimba air dulu langsung dari sumur plus nggak ada WC-nya. Bisa membayangkan? Kamar mandi hanya ada satu bilik untuk digunakan 10 anak plus 1 orang pemilik rumah. WC didapati di posko samping tapi dengan menimba air sumur dulu dan mengangkatnya dari luar rumah ke dalam rumah. Okelah ya, Najwa pun berusaha menerima dan ngomong ke diri sendiri : “Semua bisa dilewati Na! Ikuti aja alurnya,” . Syukur hamdalah, warga di rumah depan dan samping menawarkan kami menggunakan kamar mandinya pula.
Minggu
pertama kami isi dengan lebih banyak berramah tamah dengan warga sekitar dan
tentu pihak-pihak yang akan bekerja sama dalam melaksanakan program kerja.
Proses di akhir minggu ini adalah waktu di mana aku mulai merasa ada benih sayang dengan desa dan orang-orang yang
mengisinya. Terutama adalah dengan anak-anak di sana (bagiku). Waktu yang
selalu kutunggu-tunggu adalah waktu bareng mereka! “Assalaamualaikuuum” teriakan
mereka di depan posko selalu berhasil mengundang aku untuk bergegas ‘ngajar
les’. Ah, jadi kangen mereka…
Minggu
selanjutnya kami mulai disibukkan dengan program kerja. Minggu setelahnya,
semakin sibuk dengan seluruh program kerja yang harus dituntaskan. Intinya, minggu pertengahan menuju akhir
masa KKN itu sibuk! Capek! Tapi menyenangkan, suer nggak boong! Ditambah lagi dengan rasa sayang sama anak KKN, kaya udah keluarga beneran. Nggak membesar-besarkan ini. Etapi,
sayang sebagai keluarga ya, bukan semacam sayang pacar atau apa pun itu kalian
menyebutnya. Terutama dengan 9 anak yang hidup bareng aku.
Bayangkan
aja dari bangun tidur, lihatnya muka mereka. Dilanjut kegiatan pagi seperti
nyuci dan mandi juga yang dilihat muka mereka. Terus habis itu… Makan! Waktu
paling menyenangkan bareng mereka. Bukan karena aku yang hobi atau rakus makan
ya! Tapi, karena ada ritual yang sebenarnya hal biasa namun membahagiakan aja
bagi aku. Ngobrol, ngelawak, bercandain orang, ada di waktu ini. Diawali dengan
ambil jatah makan, kemudian berdoa bareng dipimpin satu orang, terus serentak
ngucapin bareng “selamat makan!”, dan akhirnya melahap makanan. Kaya biasa aja ngga sih sebenernya, tapi
suer aku seneng. Berasa banget
kebersamaannya!
Aku dan kesembilan orang yang hidup dalam 2 rumah dan Mak Rup--Ortu Asuh 45 hari kita |
Terus
lanjut seharian proker, mulai dari ngajar di sekolah, atau kegiatan bareng
perangkat desa atau warga, lagi-lagi yaa sama mereka! Bosen? Nggak, sama sekali! Capek? Iya, banget! Tapi, balik ke rasa
‘nggak bosen’ itu. Seneng aja ngikutin
semua proker tim.
Bersama Bp Kades Kandangan |
Kunjungan Pertama Kantor Desa |
Bila kalian bertanya, “Lancar nggak tuh prokernya?”. Jawabannya ya lancar nggak lancar. Semua pasti ada kendala, tapi harus ada solusi juga kan? Semua terlewati dengan baik, insyaAllah.
Terus
kalau ada yang tanya, “Selama proker ada
konflik nggak? Internal atau eksternal gitu?” . Kalau menurut aku pribadi, ada. Tapi nggak usah dibawa lama,
langsung aja dibuat evaluasi bareng tim! “Nggak ada konflik ngga seru, bray!”
–jadikan ini sebagai pedoman ketika ada konflik. Nggak usah takut konflik itu
susah diselesaikan, pasti ada jalan! Tim KKN-ku pun sempat ngadain evaluasi
besar di minggu ke-4 seharian full sampe subuh. Biar plong. Biar nggak ada hardfeeling antartemen. “Emang kamu pernah ada hardfeeling sama salah satu anak?” . Oh jelas. Hehe! Tapi nggak sampai akhir KKN juga.
Akhirnya
minggu terakhir dijabani. Perasaannya apa? Rada
males balik, haha! Lebih tepatnya males karena nggak mau ketemu tugas
seabrek lainnya di Solo, seperti skripsi misalkan. Plus, ternyata cukup ada
keengganan buat pisah sama orang-orang sana. Perpisahan-perpisahan pun mulai
dilaksanakan, perpisahan sekolah lah, perpisahan perangkat desa lah, juga
perpisahan dengan pemilik rumah dan tetangga-tetangga. Sedikit tidak menyangka
pada setiap perpisahan ada tangis yang mencuat dari diri kami.
Satu
yang paling aku ingat adalah wajah anak-anak di kelas ketika kami mengucapkan
salam perpisahan. Ada yang nangis terang-terangan, bilang nggak mau pisah sama
kita lah. Ada yang sok-sok kuat nahan tangis, trus ngadep tembok sambil
ngusap-ngusap muka. Dan yang paling nggak tahan buat diingat adalah satu anak,
namanya Yoshua. Dia ini anak paling bandel di kelas sekaligus pinter. Tapi
polahnya nggak bisa diatur : naik-naik meja, lari-lari di kelas, keluar kelas
nggak izin, dsb. Terharunya adalah dia nangis di luar setelah kami selesai
mengucap salam. Asli, nggak bisa dibuat
kata-kata saking aku terharu dan sedih bersamaan. Diolok-oloklah dia
gara-gara nangis padahal dia anak yang suka buat onar. Ah, kangen kalian,
bocah-bocah SDN 3 Kandangan, Pesanggaran, Banyuwangi!
-Sedikit Foto Kegiatan SD-
Ah udahlah, that’s all! Begitu banyak rasa yang ada, kan? Emang! “Mau ngulang lagi nggak?”. Hehe, enggak kalau ini mah. Masih banyak kegiatan lain yang mau dilakuin. Tapi, aku pribadi sangat sangat ingin untuk kembali bertandang ke sana, barang setiap 1 atau 2 tahun sekali? Menghapus kangen, gitu. Semoga diizinkan Allah, ya J
Kegiatan Akhir Masa KKN - Fullteam (20) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan ditulis komentarnya. semoga manfaat :)