6/21/2020

KKN (Kuliah Kerja Nyata) 45 Hari di Banyuwangi, Bagaimana Rasanya?


Tulisanku kali ini akan bercerita tentang rasanya KKN selama 45 hari di Desa Pelosok Banyuwangi, Jawa Timur. Eh, udah pada tahu kan ya, apa itu KKN? Salah satu kewajiban atau syarat kelulusan bagi mahasiswa/i di beberapa universitas tertentu. Embel-embel yang paling melekat sih “Pengabdian Masyarakat”. Tapi emang bener, selama KKN itu aku sama temen-temen selalu mikir bagaimana caranya kita hidup di desa ini bener-bener bermanfaat buat desa dan masyarakatnya. Pikiran ini semakin menguat ketika kita udah sampai di lokasi, bersosialisasi sama masyarakat, sampai kita sendiri mendengar bahwa ada harapan besar yang ditaruh warga pada anak KKN selama tinggal di sana. Suer, deh! Rasanya kalau semisal kita nggak bermanfaat tu malu banget!

Nah, first of all, kenapa aku memilih Banyuwangi—yang notabenenya merupakan wilayah dengan segudang cerita horror, seperti KKN Desa Penari? 1) Awalnya pengen luar jawa, sekalian itung-itung jalan-jalan. Tapi, orangtua nggak bolehin. Jadilah aku nyari kota/kabupaten di Jawa yang belum pernah aku jabanin. Jawa Timur menjadi keinginan terkuat, karena aku belum pernah eksplorasi sana. 2) Daftar di Malang sama Banyuwangi, keterimanya di Banyuwangi. Yaudah, berarti emang nasib di sana kan? Hehe.

Oke, kita mulai dengan persiapan KKN! Tim KKN-ku terbentuk sekitar 3 bulan sebelum agenda ini dimulai. Awal pertama meet the team, perasaan aku excited banget, karea syukur hamdalah, timku asyik-asyik anaknya. Seiring berjalannya waktu, dari yang awalnya excited perlahan memudar jadi nggak ada semangat-semangatnya. Apalagi aku menilai timku lama-lama terlalu banyak santai dan program kerja serasa tidak tertangani. Semakin malas lah aku buat jalanin KKN. Puncak kemalasan terjadi di dalam seminggu sebelum keberangkatan (Januari awal). Rasanya kaya “ih, gue betah nggak ya, di sana?”, “Aduh, kalau ada masalah sama anak KKN gimana?”, “Aduh nanti semua proker beres nggak ya? Berkendala sama masyarakat nggak ya? Mampus aja nyampe ada konflik,”. Dan berpuluh-puluh kekhawatiran lainnya yang menjadikan aku semakin malas untuk berangkat.

Tapi, mau nggak mau kudu berangkat, kan? Yap, akhirnya berangkat juga di pertengahan Januari.

Stasiun Purwosari - Keberangkatan

Sampailah di Banyuwangi, tepatnya di Desa Kandangan—tempat aku tinggal. Rasa yang pertama muncul adalah masih khawatir hidup di sana. Kenapa? Tentu karena bayangan akan kehidupan sehari-hari. Salah satu kekhawatiran adalah dikarenakan kebetulan aku dapat rumah yang memiliki kamar mandi di luar rumah plus harus nimba air dulu langsung dari sumur plus nggak ada WC-nya. Bisa membayangkan? Kamar mandi hanya ada satu bilik untuk digunakan 10 anak plus 1 orang pemilik rumah. WC didapati di posko samping tapi dengan menimba air sumur dulu dan mengangkatnya dari luar rumah ke dalam rumah. Okelah ya, Najwa pun berusaha menerima dan ngomong ke diri sendiri : “Semua bisa dilewati Na! Ikuti aja alurnya,” . Syukur hamdalah, warga di rumah depan dan samping menawarkan kami menggunakan kamar mandinya pula.

Minggu pertama kami isi dengan lebih banyak berramah tamah dengan warga sekitar dan tentu pihak-pihak yang akan bekerja sama dalam melaksanakan program kerja. Proses di akhir minggu ini adalah waktu di mana aku mulai merasa ada benih sayang dengan desa dan orang-orang yang mengisinya. Terutama adalah dengan anak-anak di sana (bagiku). Waktu yang selalu kutunggu-tunggu adalah waktu bareng mereka! “Assalaamualaikuuum” teriakan mereka di depan posko selalu berhasil mengundang aku untuk bergegas ‘ngajar les’. Ah, jadi kangen mereka…

Minggu selanjutnya kami mulai disibukkan dengan program kerja. Minggu setelahnya, semakin sibuk dengan seluruh program kerja yang harus dituntaskan. Intinya, minggu pertengahan menuju akhir masa KKN itu sibuk! Capek! Tapi menyenangkan, suer nggak boong! Ditambah lagi dengan rasa sayang sama anak KKN, kaya udah keluarga beneran. Nggak membesar-besarkan ini. Etapi, sayang sebagai keluarga ya, bukan semacam sayang pacar atau apa pun itu kalian menyebutnya. Terutama dengan 9 anak yang hidup bareng aku.

Bayangkan aja dari bangun tidur, lihatnya muka mereka. Dilanjut kegiatan pagi seperti nyuci dan mandi juga yang dilihat muka mereka. Terus habis itu… Makan! Waktu paling menyenangkan bareng mereka. Bukan karena aku yang hobi atau rakus makan ya! Tapi, karena ada ritual yang sebenarnya hal biasa namun membahagiakan aja bagi aku. Ngobrol, ngelawak, bercandain orang, ada di waktu ini. Diawali dengan ambil jatah makan, kemudian berdoa bareng dipimpin satu orang, terus serentak ngucapin bareng “selamat makan!”, dan akhirnya melahap makanan. Kaya biasa aja ngga sih sebenernya, tapi suer aku seneng.  Berasa banget kebersamaannya!

Aku dan kesembilan orang yang hidup dalam 2 rumah dan Mak Rup--Ortu Asuh 45 hari kita

Terus lanjut seharian proker, mulai dari ngajar di sekolah, atau kegiatan bareng perangkat desa atau warga, lagi-lagi yaa sama mereka! Bosen? Nggak, sama sekali! Capek? Iya, banget! Tapi, balik ke rasa ‘nggak bosen’ itu. Seneng aja ngikutin semua proker tim.

Bersama Bp Kades Kandangan

Kunjungan Pertama Kantor Desa

Bila kalian bertanya, “Lancar nggak tuh prokernya?”. Jawabannya ya lancar nggak lancar. Semua pasti ada kendala, tapi harus ada solusi juga kan? Semua terlewati dengan baik, insyaAllah.

Terus kalau ada yang tanya, “Selama proker ada konflik nggak? Internal atau eksternal gitu?” . Kalau menurut aku pribadi, ada. Tapi nggak usah dibawa lama, langsung aja dibuat evaluasi bareng tim! “Nggak ada konflik ngga seru, bray!” –jadikan ini sebagai pedoman ketika ada konflik. Nggak usah takut konflik itu susah diselesaikan, pasti ada jalan! Tim KKN-ku pun sempat ngadain evaluasi besar di minggu ke-4 seharian full sampe subuh. Biar plong. Biar nggak ada hardfeeling antartemen. “Emang kamu pernah ada hardfeeling sama salah satu anak?” . Oh jelas. Hehe! Tapi nggak sampai akhir KKN juga.

Akhirnya minggu terakhir dijabani. Perasaannya apa? Rada males balik, haha! Lebih tepatnya males karena nggak mau ketemu tugas seabrek lainnya di Solo, seperti skripsi misalkan. Plus, ternyata cukup ada keengganan buat pisah sama orang-orang sana. Perpisahan-perpisahan pun mulai dilaksanakan, perpisahan sekolah lah, perpisahan perangkat desa lah, juga perpisahan dengan pemilik rumah dan tetangga-tetangga. Sedikit tidak menyangka pada setiap perpisahan ada tangis yang mencuat dari diri kami.

Satu yang paling aku ingat adalah wajah anak-anak di kelas ketika kami mengucapkan salam perpisahan. Ada yang nangis terang-terangan, bilang nggak mau pisah sama kita lah. Ada yang sok-sok kuat nahan tangis, trus ngadep tembok sambil ngusap-ngusap muka. Dan yang paling nggak tahan buat diingat adalah satu anak, namanya Yoshua. Dia ini anak paling bandel di kelas sekaligus pinter. Tapi polahnya nggak bisa diatur : naik-naik meja, lari-lari di kelas, keluar kelas nggak izin, dsb. Terharunya adalah dia nangis di luar setelah kami selesai mengucap salam. Asli, nggak bisa dibuat kata-kata saking aku terharu dan sedih bersamaan. Diolok-oloklah dia gara-gara nangis padahal dia anak yang suka buat onar. Ah, kangen kalian, bocah-bocah SDN 3 Kandangan, Pesanggaran, Banyuwangi!



-Sedikit Foto Kegiatan SD-

Ah udahlah, that’s all! Begitu banyak rasa yang ada, kan? Emang! “Mau ngulang lagi nggak?”. Hehe, enggak kalau ini mah. Masih banyak kegiatan lain yang mau dilakuin. Tapi, aku pribadi sangat sangat ingin untuk kembali bertandang ke sana, barang setiap 1 atau 2 tahun sekali? Menghapus kangen, gitu. Semoga diizinkan Allah, ya J

Kegiatan Akhir Masa KKN - Fullteam (20)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan ditulis komentarnya. semoga manfaat :)

Subscribe

Flickr