12/15/2020

Review Film: Bumi Manusia (2019)

 


Siapa di sini orang Indonesia yang belum pernah denger tentang film Bumi Manusia? Atau bukunya deh. Pasti sudah pernah dengar semua, kan? Film ini berasal dari novel populer karya Pramoedya Ananta Toer, penulis yang karyanya tidak diragukan lagi. Laris banget! Hingga akhirnya, sutradara Hanung Bramantyo mengadopsinya untuk dijadikan film. Hasilnya? Meledak juga, dong!

Menurutku, banyak pemicu mengapa film ini laris di kalangan masyarakat Indonesia. Yang pasti satu adalah karena diangkat dari novel fenomenal. Dua, jalan ceritanya yang menarik apalagi mengambil cerita mengenai keadaan Indonesia jaman Belanda dulu. Siapa yang nggak penasaran? Tiga, pemerannya adalah artis-artis jaman sekarang yang jadi idola remaja-remaja masa kini. Siapa tuh? Aktor utamanya diperankan oleh Iqbal Ramadhan, aktris utamanya Mawar Eva.  Wah, makin penasaran dong, artis-artis ini bisa menggambarkan keadaan jaman dulu dengan baik nggak, ya? Mau tau feelnya, nonton dong!

Adegan-adegan awal diberi bumbu tentang awal dari kisah asmara kedua pemeran utama, yaitu Minke (Iqbal) dan Annelies (Mawar). Secara garis besar, film ini menceritakan romansa antara mereka berdua, tapi tentu bukan adegan yang menye-menye seperti roman picisan yang biasa dibaca mayoritas remaja. Konflik utamanya adalah mengenai latar belakang keluarga kedua manusia yang terjebak dalam dunia romantismenya. Minke adalah pribumi, Annelies adalah Indo. (Nggak tahu perbedaan pribumi dan indo? Dengan nonton ini aja kalian bakal paham).

Tak dinyana-nyana, Minke pun adalah putra seorang bupati yang sangat mengagungkan ‘darah jawa’-nya. Dari sini mungkin ada yang bisa nebak salah satu konflik film adalah mengenai ketiadaan restu kedua orangtua mereka. Namun, apa iya hal ini adalah salah satu konflik yang dimunculkan dalam film? Caritahu jawabannya lewat film langsung, ya!

Satu hal yang aku pribadi suka adalah tidak hanya masalah percintaan yang disuguhkan, namun film ini juga mengangkat banyak gambaran mengenai perjuangan masyarakat pribumi melawan penjajah eropa dalam istilahnya pada meja hijau. Jadi, film ini tidak mengangkat banyak tentang peperangan senjata api melawan bambu runcing namun peperangan idealisme dalam menjunjung keadilan semua manusia sama rata. Bagaimana seorang pribumi melawan hukum yang semena-mena dilakukan oleh eropa di negaranya sendiri tersajikan apik pada film ini.

Film ini berhasil menyuguhkan pelajaran-pelajaran yang berkesan dan rasanya semua kalangan (aku nggak berbicara mengenai umur, karena sudah ada aturannya film ini untuk usia berapa) bisa mengikuti dan menerima film dengan baik. Bagi pecinta cerita romansa, film ini banyak pelajaran yang diberikan. Bagi pecinta cerita kekeluargaan, film ini juga memberikan gambaran dua buah keluarga yang berbeda. Bagi pecinta cerita kemerdekaan/kebangsaan, film ini sungguh memberikan pelajaran untuk dijadikan gambar menghadapi situasi bangsa di jaman sekarang. Dan masih banyak pelajaran lainnya.

Sebelum menonton, aku sudah bertindak kurang baik yaitu memberi ekspektasi rendah pada film ini karena pemerannya yang menurutku kurang cocok untuk dijadikan pemeran film masa lampau. Terlebih, aktor utama sedang tenar-tenarnya menjadi pemeran film romansa yang relate dengan kondisi percintaan jaman sekarang. Namun ternyata di luar dugaan, aku suka cara Iqbal memerankan Minke. Tapi, kembali lagi, aktor dan aktris itu selera masing-masing. Sekarang aku dapat pelajaran to not judge before, ku jadi mikir, yakin sutradara pasti sudah menimbang bobot bebet aktor yang akan memainkan jalannya skenario yang sudah ia buat. Bravo, Mas Hanung! Can’t wait to watch your works again!

Durasi 3 jam untuk menonton film ini tidak akan sia-sia! Gas tonton! Ada bagian yang bikin aku nangis juga, gais! Asli nyesel ga nonton!


sumber: googleimage

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan ditulis komentarnya. semoga manfaat :)

Subscribe

Flickr