Siapa
di sini orang Indonesia yang belum pernah denger tentang film Bumi Manusia?
Atau bukunya deh. Pasti sudah pernah dengar semua, kan? Film ini berasal dari
novel populer karya Pramoedya Ananta Toer, penulis yang karyanya tidak
diragukan lagi. Laris banget! Hingga akhirnya, sutradara Hanung Bramantyo
mengadopsinya untuk dijadikan film. Hasilnya? Meledak juga, dong!
Menurutku,
banyak pemicu mengapa film ini laris di kalangan masyarakat Indonesia. Yang
pasti satu adalah karena diangkat dari novel fenomenal. Dua, jalan ceritanya
yang menarik apalagi mengambil cerita mengenai keadaan Indonesia jaman Belanda
dulu. Siapa yang nggak penasaran? Tiga, pemerannya adalah artis-artis jaman
sekarang yang jadi idola remaja-remaja masa kini. Siapa tuh? Aktor utamanya
diperankan oleh Iqbal Ramadhan, aktris utamanya Mawar Eva. Wah, makin penasaran dong, artis-artis ini
bisa menggambarkan keadaan jaman dulu dengan baik nggak, ya? Mau tau feelnya,
nonton dong!
Adegan-adegan
awal diberi bumbu tentang awal dari kisah asmara kedua pemeran utama, yaitu Minke
(Iqbal) dan Annelies (Mawar). Secara garis besar, film ini menceritakan romansa
antara mereka berdua, tapi tentu bukan adegan yang menye-menye seperti roman
picisan yang biasa dibaca mayoritas remaja. Konflik utamanya adalah mengenai
latar belakang keluarga kedua manusia yang terjebak dalam dunia romantismenya.
Minke adalah pribumi, Annelies adalah Indo. (Nggak tahu perbedaan pribumi dan
indo? Dengan nonton ini aja kalian bakal paham).
Tak
dinyana-nyana, Minke pun adalah putra seorang bupati yang sangat mengagungkan ‘darah
jawa’-nya. Dari sini mungkin ada yang bisa nebak salah satu konflik film adalah
mengenai ketiadaan restu kedua orangtua mereka. Namun, apa iya hal ini adalah
salah satu konflik yang dimunculkan dalam film? Caritahu jawabannya lewat film
langsung, ya!
Satu
hal yang aku pribadi suka adalah tidak hanya masalah percintaan yang
disuguhkan, namun film ini juga mengangkat banyak gambaran mengenai perjuangan masyarakat
pribumi melawan penjajah eropa dalam istilahnya pada meja hijau. Jadi, film ini
tidak mengangkat banyak tentang peperangan senjata api melawan bambu runcing
namun peperangan idealisme dalam menjunjung keadilan semua manusia sama rata.
Bagaimana seorang pribumi melawan hukum yang semena-mena dilakukan oleh eropa
di negaranya sendiri tersajikan apik pada film ini.
Film
ini berhasil menyuguhkan pelajaran-pelajaran yang berkesan dan rasanya semua
kalangan (aku nggak berbicara mengenai umur, karena sudah ada aturannya film
ini untuk usia berapa) bisa mengikuti dan menerima film dengan baik. Bagi
pecinta cerita romansa, film ini banyak pelajaran yang diberikan. Bagi pecinta
cerita kekeluargaan, film ini juga memberikan gambaran dua buah keluarga yang
berbeda. Bagi pecinta cerita kemerdekaan/kebangsaan, film ini sungguh memberikan
pelajaran untuk dijadikan gambar menghadapi situasi bangsa di jaman sekarang.
Dan masih banyak pelajaran lainnya.
Sebelum
menonton, aku sudah bertindak kurang baik yaitu memberi ekspektasi rendah pada
film ini karena pemerannya yang menurutku kurang cocok untuk dijadikan
pemeran film masa lampau. Terlebih, aktor utama sedang tenar-tenarnya menjadi
pemeran film romansa yang relate
dengan kondisi percintaan jaman sekarang. Namun ternyata di luar dugaan, aku suka cara Iqbal memerankan Minke. Tapi, kembali lagi, aktor dan aktris itu
selera masing-masing. Sekarang aku dapat pelajaran to not judge before, ku jadi mikir, yakin sutradara pasti sudah
menimbang bobot bebet aktor yang akan memainkan jalannya skenario yang sudah ia
buat. Bravo, Mas Hanung! Can’t wait to watch your works again!
Durasi 3 jam untuk menonton film ini tidak akan sia-sia! Gas tonton! Ada bagian yang bikin aku nangis juga, gais! Asli nyesel ga nonton!
sumber: googleimage |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan ditulis komentarnya. semoga manfaat :)